Rabu, 25 Maret 2015
Selasa, 10 Maret 2015
“Ibuku Sayang, Ibuku Malang” ---- Repost with New Title
7
Mei 2008
Masih
dalam langkah gontai. Aku terus menatap langit.Berharap, ada jawaban dari
sebuah pertanyaan yang tak kunjung di jawab.Dalam kubangan air mata yang terus
meleleh, dalam suara tangisan yang nyaris tak terdengar, dalam jeritan yang
tertahan, aku terus merintih. Berharap, langit menurunkan berjuta meteor yang
menghujam tubuh hingga rasa remuk tak terasa. Sungguh, jika bukan karena
kesadaran, pertanyaan ini takkan pernah muncul. Jika bukan karena kepergiannya,
hati ini-pun takkan terisis pedas. Kisahku terjadi saat itu, saat aku masih
jadi mayat berjalan.
18
November 2007
"sejak
kapan kamu buka jilbabmu..!!??" Teriak ibu membuat telingaku benar-benar
merintih kesakitan.
"sejak
awal ibu menyuruhku, aku memang tak pernah menggunakan jilbab secara
istiqamah." Jawabku sinis.
"Dasar Harami
pembawa sial ..!!!" Teriakan itu, satu-satunya yang selalu
mengiris hatiku.
"Aku
menjadi harami karena ibu berbuat zina.!! jangan salahkan aku atas apa yang
telah ibu lakukan pada masa dulu!! Aku tak mau menggenakan jilbab mungkin
karena aku... Aku.. Aku HARAMI...!!" Sentak ku tak kalah
hebat dari teriakan ibu.
Dengan
mata yang mulai berkaca-kaca, dengan lutut yang mulai lemas, ibu perlahan
terjatuh dari berdirinya. Tangisnya meledak. Dengan pandangan penuh kemenangan,
aku melangkah meninggalkan wanita yang kini menangis sejadi-jadinya. Sungguh,
anak macam apa aku? Tapi, yang ku pikirkan hanya satu. Tak ada yang boleh
menghinaku. Tak ada yang boleh menginjak ku atas kesalahan orang lain. Hanya
itu.
Alarm
bernada krriiing membangunkanku dari tidur lelapku.
Membuyarkan mimpi-mimpi indahku. Dan seolah mengajakku pada kehidupan baru dan
melupakan masa lampau. Dengan langkah gontai, aku segera mengambil air wudlu.
dalam hitungan detik, aku sudah siap menghadap Sang Maha Kuasa. dalam waktu
kurang lebih 2 menit, sholat subuh sudah ku jalani. tanpa dzikir, dan tanpa
do'a, ku lepas mukenaku. segera menarik handuk, dan bersiap mandi. Tapi.. "My
Diary" diary..?? milik siapa..?? tak pernah ku lihat diary
dengan tampilan se kuno ini. dengan penuh penasaran, ku buka lembaran pertama.
di situ terulis.
"Hai
kawan-kawanku,, jika kalian sudah membuka Diary ku, kalian akan mengikuti jejak
perjalanan cintaku dengan seorang malaikat.. Haha, tentu bukan malaikat biasa.
Dia lebih dari luar biasa ^_^"
(Thariq
& Mariam)
"Thariq..??
Mariam..?? Apa maksudnya ibu dan ayah..? Sebentar, untuk apa diary ini berada
di kamarku? Diary kan, hal yang pribadi. Apa maksudnya?" Batinku. hufst..
apa peduliku, buku ini tak berguna. hanya membuang-buang waktu jika
membacanya.Tanpa mengindahkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku, aku
bergegas menuju kamar mandi.
Meski
tak berniat, rasa penasaranku terus muncul. Untuk apa diary ibu ada di kamarku?
sambil bergegas mengenakan sepatu, ku ambil buku harian ibu. pagi ini ku
putuskan untuk idak sarapan. mau di taruh di mana wajahku, jika memakan makanan
orang yang telah ku buat menangis tanpa perasaan? sambil menunggu angkutan
menuju ke sekolah, aku terus memandangi diary yang membuat jutaan pertanyaan
timbul dalam benakku. perlahan, ku buka lembaran ke dua. tulisan yang indah
memenuhi jendela. membuat kedua bola mataku membesar. sejuta kejutan indah yang
nampak. entah kenapa, padahal seluruh dari jendela ke dua ini hanya berisi
kata-kata..
"Mariam
Mencintai Thariq Setulus Mariam Mencintai Bunda"
Dengan
kebingungan yang terus menderu, perlahan aku menaiki angkutan yang mengarah ke
sekolah. tanpa basa-basi, ku buka lembaran ke tiga.
"oh
surya, ingin rasanya aku katakan pada seluruh dunia, aku benar2 mencintainya..
hahah, cintanya membuatku gila. rasanya, aku tak bisa berhenti membayangkan
pertemuan pertama dengannya. pertama kali aku memandang wajah indahnya..Tahriq,
andai kau mendengar."
Dengan
senyuman sinis, ku baca kata demi kata, "Sungguh, ku kira ibu menulis ini
saat seumuran aku. Tapi Gaya menulisnya sudah seperti penyair. Dengan membaca
ini, pantas saja dia mau berzina dengan ayah." Ku pandangi jalanan yang
mulai gersang di bakar kemarau. Setelah sampai di tempat tujuan, perlahan aku
menuruni angkutan. Kutatap seluruh bangunan, menunggu teman yang biasanya,
telah menungguku dengan wajah cemberut. Dari kejauhan, terlihat seorang wanita
yang tak asing bagiku, berlari kecil menuju ke arahku. Sambil terenyum simpul,
dia menarik tanganku "Lama kamu menunggu..?? Maaf ya, tadi adikku merengek
minta di antar ke sekolahnya." Ucapnya dengan nada lelah. Aku hanya
mengangguk.
Dengan
pandangan kosong, aku mulai membuka pembicaraan, "Aku ketauan, ketauan ibu
melepas jilbab." Dara cantik yang sekarang berada 50 cm dariku, memandang
kaget. "jadi..? Apa alasanmu?" tanyanya. Akhirnya ku ceritakan
padanya kekacauan yang ku perbuat. "Hanan, minta maaflah pada ibumu..!!
Kata-katamu pasti membuat dia sangat sedih." Bujuk Thufailah.
"Aku berniat begitu, tapi rasanya aku terlalu malu meminta. Biarkan saja
ibu yang minta maaf. Salahnya sendiri membuat aku harus berpanas-panas
mengenakan jilbab..!!" Jawabku ketus. "Aku berharap, hidayah datang
padamu kawan." Ucap Thufailah sambil berlalu. Tertegun aku di buatnya.
Perlahan ku buka lembaran selanjutnya dari diary ibu.
"Ini
kencan pertamaku dengan Thariq. Yiiiihhaaa... seluruh pemandangan yang ku lihat
seperti bunga. Seluruh yang ku lihat bagai permata. Tak ku sangka, semuanya
menjadi begitu cepat karenanya. Aku mencintaimu Thariq. S.A.N.G.A.T"
Kata
yang membuat ku tersadar betapa cintanya ibu pada ayah. mungkin itu alasan
mengapa dia mau berzina dengan ayah. Tapi aku tak mau terlarut dalam kata-kata
indah. Ibu telah berzina. dan itu salah, kesalahan besar dan membuatku harus
menerima jutaan ejekan orang dengan kata Harami.
29
November 2007
Seluruh
tubuhku bergetar, kepalaku benar-benar seperti melayang. Aku merasa, tak ada
jejak dari setiap langkahku. Terdengar di sekiratku suara-suara panik. Apalagi
suara Thufailah. terdengar mendengung bagai lebah yang tengah marah. Semua yang
ku dengar mulai samar, pandanganku mulai kabur. dan pada akhirnya semua terasa
gelap. sangat gelap! menakutkan. suara-suara itupun mulai padam dengan
seketika. dan ketika terbangun, sesosok tubuh lemah tertidur di sebelahku
dengan posisi duduk. "Ibu..??" Padahal, suaraku terlalu lemah untuk
membuatnya terbangun. Tapi, dengan sigap dia membuka matanya. Mata lelahnya.
"Sudah sadar..?? Bagaimana kondisimu hari ini? Kamu mau sesuatu?
Katakanlah sayang. Ibu ambilkan." Katanya lirih. Aku menggeleng perlahan.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" Tanyaku pelan. Sambil melirik jam
dinding di kamarku, ibu tersenyum "18 jam,sayang." Aku hanya
tertegun. "Ibu ambilkan minum ya?" Katanya sambil bergegas menuju
dapur. Aku hanya mengangguk kecil. Sambil menatap ke sekitarku, satu-satunya
hal yang terus ku pandangi kompresan yang masih hangat, dan termometer yang
menunjukan angka 67. Dengan buru-buru, ibu memasuki kamarku. Wajah lelahnya
sangat cantik apalagi di ambah dengan senyuman tulus. Air mataku tak kuasa
meleleh. Ibu memandangku cemas. "Kamu baik-baik saja nak..?? Apa pusingnya
makin terasa? Perlu ibu panggilkan dokter..??" Tanyanya. Aku menggeleng,
mengingat perlakuan burukku pada ibu. Tak kuasa aku memeluknya, "Hanan
minta maaf ibu. Hanan terlalu egois, Hanan tak pernah mau mengerti perasaan
ibu. Hanan sayang Ibu..!! Selamanya, Hanan sayang ibu." Ucapaku dalam
ledakan tangisan. "Ibu tau nak, kamu sayang ibu. Bahkan sebelum kau di
kandung oleh rahim ibumu." Katanya melegakan ku.
Sakitku
rasanya semakin parah. Sudah seminggu aku izin sekolah. Teman-teman yang
menjengukku datang bergantian. Tapi tidak untuk Thufailah. Setiap hari, dengan
setia dia menemaniku. mengantarkan berbagai buku pelajaran untuk di salinnya
pada buku catatanku. Buku? Ach,, aku teringa lagi dengan diary ibu. Setelah
Thufailah pamitan dan pulang. Aku membuka lembaran berikutnya dari buku diary
ibu. Sudah sekitar satu bulan tak ku buka lagi buku yang ku anggap konyol ini.
Lembaran berikutnya, di tulis oleh tinta warna merah muda. Sepertinya spesial
dengan bagian ini.
"oh
Surya, rasa cintaku yang tak dapat ku bendung memberanikan aku untuk bertanya
kepada Thariq 'Kapan dia akan melamarku?' dan dengan nada indah dia menjawab
'minggu depan ku datangi engkau dengan kedua orang tuaku.'Indah bukan..?? Ingin
rasanya memiliki mesin waktu yang dapat mengantarkan aku pada minggu
depan...
*
Peluk Cium Untuk Thariq*
Seminggu
lagi..?? tapi, ibu telah mengandungku. Tak ada keterangan ibu telah berzina
dengan ayah. Untuk memastikan tak ada kesalahan, aku membuka lembaran-lembaran
sebelumnya. Dan memang benar-benar tidak ada kata-kata ibu telah berzina. Rasa
penasaranku menyeruak, ku buka lembaran berikutnya.
"Pagi
ini Thariq mengunjungiku di taman, dan berusaha meyakinkan apa jawabanku jika
dia melamarku. Dengan Percaya diri ku katakan, aku akan menjawab 'ya' dan dia
terseyum manis padaku. Meski pelan aku bisa mendengar suaranya 'aku
menyayangimu Mariam.' Oh, Thariq..!! Andai kau Makhramku, aku akan memelukmu
dengan parasaan gembira."
Makhram?
Ibu tau ayah tidak halal baginya? lalu mengapa dia berzina? apa yang salah?
Dengan Rasa penasaran semakin menjadi, aku buka lembaran berikutnya.
"Besok
Thariq akan melamarku, bahagia tak ku rasakan sendiri, tapi, ayah dan bunda-pun
sangat bahagia menyambut hari esok. Hari, segeralah malam, aku
merindukanmu."
Tanpa
Basa Basi ku buka lembaran berikutnya.
"Thariq
benar-benar datang. Kami sama sekali tak bertatap muka. Aku terlalu malu dengan
kedatangannya. Tapi ketika dia melamarku, ku katakan dengan lantang aku
menerimanya. Dua hari lagi kami menikah. Ini hari terindah dalam hidupku. Kami
memang tidak menikah secara besar-besaran. Hanya keluarga dari kedua pihak yang
datang. Tapi itu sudah sangat cukup bagiku."
Sebelum
berhasil membuka lembaran berikutnya, ibu mengetuk kamarku. Dengan secepat
kilat, ku sembuyikan buku diary di bawah selimut dan menyambut kedatangan ibu
dengan suka cita. Tapi, tetap satu pertanyaan menghuni langit kamar-kamarku.
"Jika ibu tidak berzina dengan ayah, lalu dengan siapa?"
Keesokan
harinya, kondisiku mulai pulih, meski belum sempurna. Mungkin sekitar dua hari
lagi aku bisa berangkat ke sekolah. Demi membunuh sepi, ku putuskan membaca
diary ibu. Sepertinya bagian ini semakin membuatku penasaran. Ibu berhasil
menikah dengan ayah dan tidak ada hal yang ganjil. "Lalu mengapa ibu
sering memanggilku Harami Pembawa Sial?" Ku putuskan untuk berhenti
membaca buku ini. Mungkin, ibu memanggilku begitu karena marahnya padaku. Ku
tutup diary itu, dan perlahan memejam mata. Membawaku ke dunia yang lebih fana
dari kehidupanku.
12
Desember 2007
Sepulangnya
aku dari sekolah, terlihat sepatu yang indah berada di teras rumahku. Ya, aku
tau siapa tamunya. Pasti ayah. Ayah? Ibu tidak pernah mengatakan ia bercerai
dengan ayah. tapi mengapa dia meninggalkan aku dan ibu? Jawabannya pasti ada di
diary ibu, tapi biarkan itu menjadi misteri. Sambil melangkah masuk, dan hendak
mengucap salam dengan riang, aku mendengar tangisan pedih. Tangisan tertahan.
itu tangisan ibu. Tanpa berniat mengacaukan suasana,aku mulai dengan kebiasaan
menguping."Aku sangat menyayaginya Thariq. Jangan bawa dia. Jangan buat
aku menderita dengan kepergiannya. Aku bisa mati karenanya." Ucap ibu
tertahan. "Ini sudah keputusan. Biarkan dia dengan ayahnya. Dia akan
bahagia denganku di kota." Jawab ayah tegas. Perlahan, aku memeluk ayah
dari belakang. "Aku rindu ayah. Sudah 5 tahun kita tidak bertemu."
Ucapku lirih. Ibu memalingkan wajahnya, berusaha membuang rasa cemburunya. Ayah
membalikan wajahnya, "Kau mau ikut ayah ke kota?" Tanyanya bijak.
"Aku mau. Bagaimana ibu? Kita bisa ke bioskop di sana." Jawabku
antusias. "Ibu tidak ikut nak, hanya kau." Tegas ayah. Dengan binar
mata kecewa, aku menggeleng. "Aku hanya mau jika ibu ikut." Jawabku
tak kalah tegas. "Kau hanya berlibur di kota nak. Biarkan ayah
menyayangimu, takkan lama. Jarak waktu sebulan, kau sudah akan ayah
pulangkan." Ucap ayah dengan nada memaksa. Aku memandangi ibu. Dengan mata
yang masih basah, di tersenyum, "Kau yang menentukan, sayang."
Katanya. Dengan senyum merekah, aku mengannguk.
15
Desember 2007
Kepergianku
ke kota, adalah hal yang paling menyenangkan. Ibu hanya berpesan agar menjaga
kesehatan. Dia senang jika aku senang.
satu hal yang tak ku lupakan adalah diary ibu. Siapa tau, aku tiba-tiba kembali
penasaran dengan teka-teki kehidupanku.
Dua
jam perjalanan dan aku sudah berada di kota besar dengan teknologi dan segala
hal yang serba memadai. Setelah memasuki sebuah gang, aku dapat melihat rumah
indah dan sangat besar. Di teras rumahnya berdiri seorang wanita cantik dengan
pakaian yang modern. Wanita yang tak lain adalah istri ayah. Dia sudah sejak
lama menunggu kedatangan kami. Ketika turun dari mobil, dia menyapaku dengan halus
dan lembut. mengajakku berjalan mengelilingi rumah besar itu dan mengajakku ke
kamar yang sudah di siapkan. Menyuruhku mandi dan menyiapkan makan malam.
Sesaat hal ini sangat menyenangkan, tapi semakin lama semakin aneh. Dan hatiku
mengatakan agar aku kembali membaca diary ibu.
3
Maret 2008
Selama
aku membaca diary, semua menceritakan kebahagiaan ibu dengan ayah selama usia
pernikahan yang sekitar baru dua bulan. Tapi, Aku sama sekali tak ada,
bahkan belum ada penjelasan aku di kandung oleh ibu. Hingga di lembar
selanjutnya, ini keanehan dari segala hal yang aneh.
"Petaka..!!
Ini petaka..!! Sungguh, ini petaka yang memuakan. Seorang wanita bernama Hasna
dengan membawa bayi berusia sekitar satu tahun sepuluh bulan datang ke rumah
ku. Dia mengaku anak yang di gendongnya adalah anak Thariq. Hasil perbuatan
Zina. Anak itu bernama Hanan. Bayi kotor itu bernama Hanan. Dia hadir sebelum
aku menikah dengan Thariq. Dia, Bayi itu. Dia, gadis itu. Lancang sekali datang
dan merusak rumah tanggaku dengan Thariq. Dengan kesepakatan bersama, Hasna
tinggal di rumahku dengan gadis itu. Oh Tuhan, meski Thariq tak pernah tidur
dengannya, tapi perhatiannya pada Hasna membuatku cemburu. Mereka memutuskan
untuk menikah lima hari mendatang. Apa aku siap menerima kenyataan bahwa aku
akan mendapat saingan dalam rumah tangga? Usia pernikahanku dengan Thariq baru
menginjak bulan kedua. Ya Tuhan, ini tidak akan adil bagiku"
Seolah
petir menyambarku dan menghanguskan jiwaku. Aku hanya bisa memandang kosong
pada lembar yang baru aku baca. "Apa ini sungguhan? Apa tidak ada dusta
dalam diary ini?" Pikirku. Lututku lebih lemas dari saat aku sakit parah.
Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya. "Siapa Hasna? Apa wanita yang
menjamuku dengan baik? Apa itu orangnya?" Pertanyaanku terus menggelantung
di langit langit kamar.
Hari
semakin larut, aku terus mengunci diri di kamar, mungkin besok aku akan berani
keluar dan menanyakan tentang Hasna. Wanita yang membuat "Ibuku” bersedih.
Mataku semakin berat. Aku ingin pulang, memeluk dia yang ternyata bukan ibuku.
Bukan ibuku yang menyayangi aku seperti anaknya. Ini hal yang berat. Ibu ku,
Ibu ku hanyalah Mariam. Hanya dia, tak ada lagi.
Pagi
telah menyongsong, ku ambil air wudlu. Untuk pertama kalinya, aku merasa ke-khusyuk-an
dalam sholatku. Dengan air mata yang meleleh dengan deras, aku memohon
perlindungan dan jawaban atas pertanyaan Siapa Aku? ketika matahari mulai
memancarkan cahayanya, aku putuskan keluar kamar dan mencari ayah. Terlihat
keharmonisan antara ayah dan wanita yang menjamuku dengan baik. Dengan perasaan
tak sabar, aku duduk di hadapan ayah. Senyum ayah mengembang. Tanpa basa basi,
aku langsung menanyakan hal yang menggangguku. "Ayah, istri ayah ini, apa
dia Hasna?" Dengan singkat ayah mengangguk dan mengembalikan pandangannya
pada koran yang tengah ia baca. Perlahan aku meninggalkan ruang keluarga.
Dengan gontai aku memasuki kamar. Dengan tangisan memilukan, aku mencoba
meneruskan membaca kisah sedih "ibu".
"Pernikahan
telah berjalan sesuai harapan kedua bajingan itu. dan aku? Aku hanya bisa
menangis sambil mengutuk kehidupanku. Bayi yang selama berjam-jam tak lepas
dari pangkuanku pun, seolah bertanya-tanya mengapa aku menangis. Hanan, ini
terlalu berat bagimu. Ibumu itu keparat yang menyihir kehidupan indahku."
Di
halaman berikutnya, aku tak kuasa menjerit setelah membaca.
"Thariq
dan Hasna memutuskan untuk berbulan madu ke kota, ke kediaman Hasna. Tanpa
membawaku serta Hanan. Beberapa hari kemudian, Thariq mengucapkan beribu-ribu
kata maaf karena terpaksa harus mendiami kota lebih lama. Dia menitipkan Hanan
padaku. Lalu apa yang harus ku lakukan? Aku tak mungkin bekerja dengan keadaan
di ikuti bayi kotor ini? Dengan berat hati, aku berusaha mendatangi pasar dan
mencari pekerjaan. Beberapa diantara yang ku temui menganjurkan agar aku
menjual diri pada para pengusaha pasar. Tapi dengan tegas aku menolak. Jiwa dan
ragaku hanya untuk Thariq. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah ayah
dan bunda. Setelah mendengar ceritaku, mereka benar-benar murka. Mereka menyuruhku
untuk meminta cerai pada Thariq. Tapi itu berat bagiku, aku yang menyerahkan
kehidupan pada Thariq. Pulanglah Thariq, aku menantimu. S.A.N.G.A.T"
Mendengar
jeritanku, wanita yang menjamuku dengan baik, datang dengan wajah cemas.
"Ada apa, sayang?" Tanyanya lirih. "Terkutuk kau Hasna!!"
Bentakku sekeras yang aku mampu. Dengan wajah pucat dia berdiri mematung.
"Apa... Apa yang kau katakan, sayang?" Ucapnya terbata. "SEMOGA
ALLAH MENGHUKUM ATAS APA YANG KAU PERBUAT!!" Mendengar ucapanku, ayah
dengan nada kasar membentakku. "Hanan!! Lancang Sekali Kau Pada Ibumu!!"
Dengan nada tak kalah kencang "Tak ada ibu yang akan membuang anaknya pada
istri pertama suaminya!!" Suasana sepi senyap. Hanya hembusan nafas emosi
yang terdengar. Hasna, wanita itu dengan lemas, menjatuhkan tubuhnya di dekat
ayah. Dengan cepat kuraih diary ibu dan membuka halaman berikutnya. Perlahan ku
baca dengan Lantang.
"Dua
minggu sudah Thariq melupakan keberadaanku. Demi menjauhi keinginan ayah untuk
menyuruhku meminta cerai dengan Thariq, ku putuskan pulang ke rumah dengan
Hanan. Bayi imut ini semakin hari semakin menyatu dengan batinku. Tak tega aku
selalu memanggilnya anak kotor atau harami. Hanan, mulai sekarang panggil aku
ibu. Anggap saja, ibu kandungmu mengalami kecelakaan tragis dan menyebabkan
kematian pada hatinya. Hari ini, kita akan memakan ubi yang ku ambil dari kebun
kakek angkatmu sayang. Jadilah anak yang Shalehah sayang. Jadilah anakku
Hanan."
Dengan
cepat ku buka halaman berikutnya. Dan membacanya dengan nada semakin larut
dalam bacaanku.
"Ku
putuskan untuk menanami halaman dengan bibit-bibit yang Thariq miliki. Sebagai
pekerjaan lain, aku putuskan untuk menjadi tukang cuci keliling. Rasa lelahku
sirna setiap melihat perkembangan pada "anakku”. Semoga, ketika hari panen
tiba, aku untung banyak."
Dengan
jemari bergetar, ku buka halaman selanjutnya. Dengan bayangan yang tiba-tiba
hadir di kalbuku. Bayangan ibu yang merawatku dengan sebaik mungkin. Bayangan
ibu mencuci pakaian kotor yang entah milik siapa. "Jangan Lanjutkan
Hanan.!!" ucap ayah lirih
"Ayah
sakit keras, para tabib tidak mengetahui penyakitnya. Berkali-kali aku coba
hubungi nomor telepon Thariq, tapi tak
kunjung di angkat. Aku hanya ingin dia membantuku dalam mencari tabib di kota.
Mungkin ada tabib yang pernah menemukan penyakit ayah. Kini, entah pada lelaki
mana aku harus bergantung."
Lembaran
baru kubuka lagi. Ayah mengingatkan aku semakin keras.
"HENTIKAN...!!!"
"seminggu
lalu adalah hari yang menyedihkan, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Kejam!
mengapa Thariq tak mau mengangkat tlp dariku? Apa aku sudah tak berati sama
sekali? Ini menyeramkan. Aku membencimu Thariq. Aku sungguh membenci
mu."
p.s.
harta warisan Ayah sudah di bagikan. Dengan perasaan diliputi rasa galau, aku
menerimanya.
Dengan
nada mengancam, ayah menyuruhku berhenti lagi. Aku menatap angkuh pada dua
makhluk di hadapanku. "Apa kalian masih pantas di panggil manusia?"
Lagi-lagi ku buka lembaran pada buku diary ibu.
"Panen
sangat menguntungkan. Aku tak harus menggantungkan semua harapanku pada harta
warisan ayah. seperempat dari hasil panenku, kuberikan pada mereka yang
membutuhkan. Sesungguhnya aku telah merasakan kepahitan hidup. Hanan sayang,
berbahagialah, hari ini, kita makan enak.
peluk
cium dari ibu ^_^"
Ada
satu halaman yang belum ku baca. Halaman terakhir. Halaman yang membuatku kaget
dan bingung.
"Untuk
anakku, buah hatiku, pelipur laraku. Hanan Binti Thariq Abdullah.
Setelah
kau membaca buku harian ibu, ibu harap, kau bisa menyayangi ibu seperti ibu
menyayangimu.
Hanan,
meski kau bukan anak kandung ibu, ibu menyayangimu lebih dari apapun di dunia
ini. Maafkan ibu yang memanggilmu Haram Pembawa Sial. Entah syetan apa yang
merajai hati dan fikiran ibu. Apapun yang terjadi, ibu menyayangimu."
Peluk
cium Dari Ibu
Buku
ini ada setelah pertengkaran hebatku dengan ibu beberapa bulan lalu. dan
beberapa bulan kemudian, aku meninggalkan ibu hanya demi melihat kota yang
menjijikan ini? Aku tak kalah jahat dengan orang yang berada di hadapanku kini.
"Bawa aku pulang. SEKARANG...!!!" teriakanku memecah keheningan.
Bersamaan dengan itu, telepon rumah berdering tak kalah kencang. Melihat tuan
rumah yang masih dalam keadaan kaget, aku berlari mencari arah datangnya suara
telepon. Ketika diangkat, suara yang tak asing bagiku, Thufailah..!!
"Hanan, segeralah pulang. Ibumu menderita mag kronis." Bagai di
sambar petir, di hujam ratusan meteor, dilemparkan ke tempat paling terkutuk di
dunia. Dadaku seolah di tembak oleh ratusan panah-panah yang menggila. Tanpa basa
basi, aku segera menuju kamar. Mengemasi pakaian tanpa memandangi wajah-wajah
mengerikan kedua orang tuaku. Sesekali ayah meneriakiku, tapi dia terlalu sibuk
dengan istri kesayangannya. Aku berlari menuju halte terdekat yang akan
mengantarkan aku ke desaku.
Dua
jam tiga puluh menit aku sampai di rumah. Secepat kilat aku berlari menuju
rumah, dimana ada seorang wanita yang sedang menungguku. Wanita yang sulit di
sembuhkan dari penyakitnya kini. Sebelum memasuki rumah, Thufailah sudah
menyambutku dengan wajah cemas. "Bagaimana keadaan ibu?" Tanyaku
cemas. "Semakin buruk. Dia tak menerima makanan apapun sejak kemarin.
Mungkin rasa mualnya semakin bertambah. Tak bisa ku jelaskan disini. Temui dulu
ibumu, baru akan ku jelaskan cerita detailnya." Jelas Thufailah. Dengan
bergegas, aku memasuki rumah. Dan pemandangan yang mengenaskan telah berada di
hadapanku kini. Wanita pertama yang ku cintai. Cinta pertamaku, kini terbaring
lemah dengan bibir pecah-pecah dan mata yang membulat. Tanpa fikir panjang, aku
mulai berlari memeluk bidadari yang di berikan Tuhan untukku. Dengan senyum
cerah, ibu terseyum manis kepadaku,"Kamu sudah pulang Hanan? Bagaimana
liburanmu? Bukankah, kau seharusnya pulang beberapa bulan lalu?" Ucapnya
dengan nada lelah. "Maafkan Hanan ibu. Hanan anak durhaka. Hanan mencintai
ibu. Selamanya." Ucapku bergetar. Ibu membelai rambutku yang tergerai.
"Dimana jilbabmu,sayang? Apa hidup di kota membuatmu semakin melupakan
kewajiban wanita?" Tanya ibu dengan lembut. "Hanan lakukan apapun
demi ibu. Sejak kapan ibu sakit? Mengapa Hanan tidak di beri tau?" Sesaat,
ruangan benar-benar sunyi sepi. Bahkan, angin pun enggan melewati kesedihan
yang membungkus ruangan tempat kami tersungkur tak berdaya. "Ibu berusaha
menelepon ayahmu, tapi dia bilang kau bahagia dengan orang tua kandungmu. Meski
begitu, ibu yakin pada akhirnya kau akan tetap pulang pada ibu nak." Kini,
seluruh kebencian pada ayah dan ibu kandungku membulat dan mengeras dengan
warna hitam pekat. Kan kubuat mereka tau apa yang telah mereka lakukan pada
orang yang begitu aku cintai. Bahkan, meski dia menghinaku harami pembawa
sial.
Setelah
yakin ibu tertidur, aku memutuskan menemui Thufailah dan menanyakan tentang
keadaan ibu. "Sepertinya semenjak kepergianmu ke kota, ibumu sama sekali
tidak makan, yang ku tau ketika aku datang ke sini, nasi dan berbagai lauk
pauknya telah basi bahkan di tumbuhi jamur. Dia mengatakan akan menunggumu
pulang dan makan bersamamu. Dari situlah, ku pikir dia benar-benar kecewa
dengan keputusanmu pergi ke kota. Berkali-kali ku hubungi namun seorang wanita
yang mengangkat berkata kau sudah layak hidup di kota. Itu membuat ibumu
semakin tidak menerima makanan apapun. Hanya air mineral yang membuatnya bisa
terus bertahan. Beberapa hari kemudian, ibumu sudah terbujur kaku tak berdaya.
Ku putuskan memanggil dokter,dan ternyata lambung ibumu benar-benar sudah
rusak. Sudah berlubang di mana-mana.Kerja lambung ibumu yang tidak stabil,
menyebabkan kerusakan pada pada tubuh bagian lain. Entah, harus bagaimana. Tapi
sudah tak bisa tertolong. Bawalah dia pada ayahmu dan obati penyakitnya.
Jadilah anak yang berbakti Hanan." Dengan terpaku aku hanya bisa menahan
lelehan air mataku. Siapa yang patut di salahkan? Ayah? Hasna? Aku? Atau
nasib?? Atau takdir?
6
Mei 2008
Ibu
dan aku tengah menikmati angin sejuk hari pertama musim kemarau. Meski di
temani dengan berbagai selang-selang milik dokter yang entah namanya. Mereka
bilang, mereka akan memasukan nutrisi-nutrisi untuk ibu dari selang- selang
itu. Dokter juga mengatakan waktu untuk ibu tak bisa diperkirakan lagi.
Apalagi, kondisi lambung ibu yang mempengaruhi bagian tubuh ibu yang lain. Aku
hanya bisa bertawakal. Berharap keajaiban itu segera datang. Aku juga sudah
mulai menggunakan jilbab atas kemauan ku sendiri, buka karena ibu. Entah
hidayah itu datang dari bagian kehidupanku yang sebelah mana, tapi ibu pun ikut
senang dengan kabar aku menggunakan jilbab. Beberapa waktu lalu, ayah dan ibu
kandungku datang ke rumah dengan alasan akan membawaku. Tapi jelas kutolak
mentah-mentah dan mungkin dari situ ibu mengetahui adanya konflik antara aku
dan kedua orang itu. Berkali-kali ibu meminta agar aku memaafkan perlakuan
mereka, namun selalu ku tolak. Untuk apa aku memaafkan mereka yang
menghancurkan kehidupan dua orang sekaligus? Tak semudah itu aku akan memaafkan
perilaku mereka. Begitupun hari ini. Ibu masih menyuruhku memaafkan ayah
dan ibu kandungku. "Untuk apa aku maafkan mereka ibu? Tak akan ada gunanya
untukku maupun untuk mereka." Jawabku ketika ibu kembali meminta aku untuk
memaafkan orang tua kandungku. "Mereka adalah jembatan bagimu untuk
mendapat keridlaan-Nya. Bukan aku Hanan, meski aku mengurusmuu sejak usiamu
baru satu tahun." sergah ibu tak mau kalah. sesaat semua sunyi, hanya
angin yang menderu kencang yang memecah suara. "Tidak, sekali tidak. tetap
tidak." Jawabku semakin tegas. "Hanya itu permintaan terakhirku, Hanan."
Ucap ibu lembut. Aku hanya bisa menunduk dan memejam mata, tak mau kulelehkan
airmata ku di hadapanya. "Mengapa ibu masih bisa memaafkan dua makhluk
yang membuat hidupnya menderita?" Tanyaku lirih. Dengan senyuman manis,
ibu menjawab "Karena, jika mereka tidak mendzalimi ibu, ibu takkan pernah
bisa bersamamu sayang." Jawaban yang sempurna. Ku tundukan kepalaku
semakin dalam. Tak ku rasakan adanya perubahan gerak gerik ibu. Ya, ibu menahan
sakit yang sangat. Wajahnya begitu tegar menerima cobaan. Ketika kupandangi
wajahnya, warna kulitnya tak ubahnya Tomat yang siap panen. Dengan bergegas dan
dengan perasaan cemas, kutelepon dokter yang biasa merawat ibu. Seperempat jam
kemudian, dia baru datang dan memeriksa keadaan ibu. Menyuntikan cairan ke
tubuh ibu sehingga ibu menjadi lemas dan tak sadarkan diri. Dengan haru, tak
kuasa aku menahan tangis. Sampai kapan ini akan terjadi? Kasihan ibu. Menanggung
sakit yang sangat panjang. Yang tak berujung.
Ayat-ayat
al-Qur'an mulai ku panjatkan. Berharap, dengan bantuan ayat-ayat suci, ibu bisa
lekas sembuh. Ini hal paling sulit dalam hidupku. Melihat orang yang sangat aku
cintai kesakitan. Dalam tidurnya pun, ibu tetap dalam wajah paling cantik dan
bercahaya. Ku jatuhkan kepalaku di dekat ibu. Menagis, hanya itu yang dapat kulakukan.
Beberapa saat kemudian, aku merasakan belaian hangat mengenai jilbabku. Ku
angkat kepalaku dan pemandangan indah telah menantiku. Senyuman ibu yang paling
cantik yang pernah ku lihat. "Tidurlah di sebelah ibu, Hanan."
Ucapnya dengan nada memelas. Ku turuti permintaannya. "Maafkanlah orang
tuamu, Hanan." Pintanya, lagi. Tanpa menjawab perkataannya, kupeluk tubuh
kurusnya perlahan. "Tidurlah, Ibu akan tidur setelah kau tertidur. Ibu tak
mau ada tangisan lagi darimu sebelum kau terlelap" Ku pejamkan mata,
sambil tak henti kupanjatkan do'a kepada Sang Maha Pengasih. Berharap yang
terbaik yang akan kudapatkan. Yang terbaik yang akan di berikan-Nya. Hanya
berharap.
7
Mei 2008
Subuh
kali ini sungguh terasa sangat dingin. Tak kuasa aku menyentuh air wudlu.
Sebelum aku melaksanakan sholat subuh, kusentuh dahi ibu yang terasa sangat
dingin. Dengan Panik ku selimuti tubuh ibu. Dengan panik pikiranku mulai kacau.
Dalam Shalatku, pikiranku terus tertuju pada ibu. Dalam sholatku, aku
memikirkan hal terburuk yang bisa terjadi. Dalam sholatku aku terus berharap
Allah tak mendengar do'aku semalam. Do'a agar aku di berikan yang terbaik. Dalam sholatku aku meminta agar hatiku lebih
dari tenang. Dalam Sholatku aku berharap, Allah terus membimbingku. Dalam
dzikirku, tak henti-hentinya ku minta agar aku bisa lebih tenang. Tapi, dalam
tangisku, kusentuh lengan ibu dan berusaha mencari tempat denyut nadinya
seharusnya berada. Seolah, pisau paling tajam menembus dada hingga jantungku.
Tak ada gerakan yang bisa ku rasakan. Tangisku mulai mencair, suaraku parau.
Tak henti-hentinya aku memukul dada demi menghilangkan teriakan. Tapi, itu
terlambat. Teriakanku benar-benar menghancurkan irama subuh yang biasa
terdengar damai.
Tatapanku
kini hanya pada langit-langit yang seolah menampaakan rasa iba padaku. Aku
benar-benar hancur. Setelah pemakaman, Thufailah memutuskan untuk
meninggalkanku sendiri. Ketika aku mulai berjalan pulang, nampak dari jauh
mobil merah yang tak asing bagiku. Ayah, Ibu? Dengan wajah sedih mereka
menuuruni mobil. "Hanan, kami ikut berduka cita atas kematian
"ibu" mu."Ucap ayah menyesal. Yang ku ingat ketika melihat wajaah
mereka hanya permintaan terakhir ibu "Maafkan kedua orang tuamu." Dan
benar apa dugaanku, selain datang untuk berduka cita, mereka juga datang untuk
meminta maaf kepadaku.
Dengan
hati yang lapang dan ikhlas,dan senyuman yang tersimpul ku katakan
"Aku memaafkan kalian dari hati yang paling dalam. Dan ini karena ibuku.
Mariam. Ibuku Mariam."
Langganan:
Postingan (Atom)